Dasar-Dasar Pembagian Harta Warisan (FAROID)
Proses perjalanan kehidupan
manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan orang yang dekat dengannya.
Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat
timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian juga dengan kematian
seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat
dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban
orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang
mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara
penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum
Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris,
Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut
ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak
mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing
bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang
berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam makalah ini kami
hanya menjelaskan pengertian, sejarah dan hukum mempelajari dan mengajarkan
ilmu mawaris. Adapun penjelasan yang berhubungan dengan ilmu mawaris lainnya
akan dijelaskan oleh makalah selanjutnya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Tentang
Pewarisan
- I. Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman
Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah
adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan
mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari
bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga
mereka berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta
warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh
nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang
belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat
warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka
beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai
warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab
pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
- Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum
dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling penting adalah kuat
jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari
serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah
dari golongan kerabat terdiri dari:
a) Anak laki-laki
b) Sudara laki-laki
c) Paman
d) Anak paman
Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak
mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru
terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah
mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa
digunakan, antara lain:
دَمِّىْ
دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ
بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi
hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu
terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.
- Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua
sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak
kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak
mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala
hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada
ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan
atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus
orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan
janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa
raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat
direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih
anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun
bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan
harta kekayaan yang mereka miliki
- II. Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah,
lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang
sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang
sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada
tiga macam:
a) Adanya pertalian kerabat (القربة)
b) Adanya pengangkatan anak (التبني)
c) Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum
Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
- III. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam
bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling
mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat
melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak,
pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya
berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum
perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah
dibatalkan oleh firman Allah swt. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
للرجال
نصيب مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قل منه
أو كثر نصيبا مفروضا
“Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita
ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh
firman Allah SWT
والذين آمنوا من بعد وهاجروا وجاهدوا معكم فأولئك منكم وأولوا الأرحام بعضهم
أولى ببعض في كتاب الله إن الله بكل شيء عليم
“… orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang
bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala
sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang
berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah: (Q.S
al-Ahzab [33]:4)
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه وما جعل أزواجكم اللائي تظاهرون منهن أمهاتكم
وما جعل أدعياءكم أبناءكم ذلكم قولكم بأفواهكم والله يقول الحق وهو يهدي السبيل
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang
dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). (Q.S al-Ahzab [33]:4-)
firman Allah: (Q.S al-Ahzab [33]: 5)
ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم
وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن ما تعمدت قلوبكم وكان الله غفورا رحيما
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S al-Ahzab [33]: 5)
Dari uraian diatas, dapatlah
dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak
terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada
anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji
prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)
B. Pengertian
Lafadz faraidh (الفَرَئِض),
sebagai jamak dari lafadz faridhah (فريضة), oleh ulama Faradhiyunmafrudhah (مفروضة), yakni
bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Adapun lafadz
al-Mawarits (المواريث) merupakan jamak dari lafadz mirats (ميراث).
Maksudnya adalah diartikan semakna dengan lafadz
التِّرْكَةُ الَّتِي خَلَفَهَا
الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ
“Harta peninggalan yang
ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris)”.
Sedangakan pendapat-pendapat
ulama mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih Mawaris:
- Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh
sebagai berikut:
الفِقْهُ المُتَعَلِّقُ
بِالإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ المُوَصِّلُ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَالِكَ
وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الْوَجِبِ مِنَ التَّرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ
“Ilmu fiqih yang
berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyelesaikan pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.
- Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai
berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ
يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ
“Ilmu yang mempelajari tentang
siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar-kadar
yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
العِلْمُ الْمُوَصِّلُ إِلَى
مَعْرِفَةِ قَدْرٍ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ مِنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu yang membahas tentang
kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya
(ahli waris)”.
- Rifa’I Arief mendefinisikan sebagai berikut:
قَوَاعِدُ وأُصُوْلٌ تُعْرَفُ
بِهَا الْوَرِثَهُ وَالنَّصِيْبُ الْمُقَدَّرُ لَهُمْ وَطَرِيْقَهُ تَقْسِبْمِ
التَّرْكَةِ لِمُسْتَحِقِّهَا
“Kaidah-kaidah dan pokok yang
membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi
mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta peninggalan kepada orang (ahli
waris) yang berhak menerimanya”.
Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau fiqih Mawaris adalah ilmu
yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang
ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut,
bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta
peninggalan tersebut.
C. Hukum Mempelajari dan
Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah
menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan,
menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan
dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia
mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau
mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang
untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu
Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai
separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ
وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ,
فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ
فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan
ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu
kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat),
sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua
orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang
memutuskan perkara mereka”.
Hadis tersebut menunjukkan
bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan
mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam
pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah
tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu
itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada
seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa,
disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain, kami
menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat Islam dalam
perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula hukum belajar dan mengajarkan
ilmu faraidh
BAB III KESIMPULAN
Sejarah mawaris terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu:
- I. Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman
Jahiliyah)
- Adanya pertalian kerabat
(القرية)
- Adanya janji Prasetia (المخالفة)
- Adanya pengangkatana
anak (تبنّى)
- II. Pewarisan Pada Masa Awal Islam
- Adanya pertalian kerabat
(القربة)
- Adanya pengangkatan anak
(التبني)
- Adanya Hijrah (dari
Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
- III. Pewarisan Pada
Masa Islam Selanjutnya
Pertalian kerabat, janji
prasetia, dan adanya pengangkatan anak dibatalkan oleh Allah dalam beberapa
firmanNya.
Adapun pengertian dari faraidh
sendiri adalah bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Kata
Faraidh berasal darai kata al-Fardh, kata al-Fardh sendiri
memiliki beberapa arti diantaranya sebagai berikut القَطْع
(al-qath’), التَقْدِيرْ (at-taqdir), الإنزال (al-inzal), العطاء(al-Atha), الإحلال (al-ihlal),
التبيين (at-tabyin)
Sedangkan hukum mempelajari dan mengajarkan Ilmu Faraidh yaitu fardu
kifayah
Komentar