BAB 9 Mengelola Wakaf dengan Penuh Amanah
A. Memahami Makna Wakaf sebagai Syari’at Islam
1.
Pengertian Wakaf
Secara
bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab yang artinya menahan (al habs) dan
mencegah (al-man’u). Maksudnya adalah menahan untuk tidak dijual, tidak
dihadiahkan,ataupun tidak diwariskan . Wakaf menurut istilah syar’i adalah
suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya kepada orang lain atau
lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil
manfaatnya oleh masyarakat. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan tanahnya
untuk lahan pemakaman umum. Maka tanah yang sudah diwakafkan tersebut tidak
boleh ditarik kembali, dijual, diwariskan, atau dihadiahkan kepada orang lain. Wakaf
termasuk amal ibadah yang sangat mulia dan dianjurkan oleh Allah Swt. Dalam
Q.S. ali Imran/3:92 Allah Swt. berfirman:
لَنۡ تَنَالُوا
الۡبِرَّ حَتّٰى تُنۡفِقُوۡا مِمَّا تُحِبُّوۡنَ ؕ وَمَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ شَىۡءٍ
فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيۡمٌ.
Artinya:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah
Swt. Maha Mengetahui.”
Wakaf
termasuk amal ibadah yang belum banyak diamalkan. Hal tersebut disebabkan
karena biasanya wakaf berupa harta yang dicintai, seperti tanah, bangunan, atau
benda lainnya. Padahal, jika seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan
diraihnya dengan berwakaf, boleh jadi orang akan berbondong-bondong melakukan
wakaf meski sekadar satu meter tanah. Wakaf merupakan amal jariah yang
pahalanya akan terus mengalir sampai
orang
yang mewakafkannya meninggal dunia. Artinya, ia akan tetap menerima pahala dari
amal jariyahnya selama wakafnya dimanfaatkan oleh orang lain. Wakaf memiliki
dua tujuan, yaitu hubungan horizontal, yaitu mengentaskan kemiskinan dan
hubungan vertikal, yaitu pendekatan pada Allah Swt.
Dalam
Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah dijelaskan,
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
Menurut Jaih Mubarok, dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal, berikut.
a.
Wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti
perusahaan atau organisasi kemasyarakatan.
b.
Pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikian tanah milik
yang diwakafkan.
c.
Tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya
sesuai ajaran Islam.
2.
Hukum Wakaf
Hukum
wakaf adalah sunnah. Wakaf sebagai amaliyah sunnah yang sangat besar manfaatnya
bagi wakif, yaitu sebagai śadaqah jariyah. Berdasarkan dalil-dalil wakaf bagi
keperluan umat, wakaf merupakan perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan
oleh Islam. Suatu ibadah dinilai sah apabila terdapat perintah dari Allah Swt.
dan Rasulullah saw. Demikian halnya dengan syari’at atau ajaran wakaf. Berikut adalah
beberapa dalil yang menjadi dasar tentang diperintahkannya wakaf, di antaranya
seperti berikut.
a.
Q.S. Āli ‘Imrān/3:92
لَنۡ تَنَالُوا الۡبِرَّ حَتّٰى تُنۡفِقُوۡا مِمَّا
تُحِبُّوۡنَ ؕ وَمَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ شَىۡءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيۡمٌ
Artinya:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh,
Allah Swt. Maha Mengetahui”. (QS. Āli-Imrān/3:92 )
b. Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari da Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلَّا مِنْ ثَلَاثَة،ٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِه،ِ
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang meninggal,
maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”. (H.R.Bukhori dan Muslim ).
Mengenai
śadaqah jariyah pada hadis di atas, ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud
dengan śadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.
c.
Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari
Artinya:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra.’, “Sesunguhnya Umar Ibn al Khatthab memiliki
tanah yang dinamakan dengan ¢amgun yang ada kurma yang indah sekali. Umar
berkata, “Ya RasulAllah Swt. saya ingin memanfaatkan hartaku yang sangat baik,
apakah saya mau menśhadaqahkannya? Nabi menjawab,
“Hendaklah śhadaqahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual,dihibahkan, dan
diwariskan akan tetapi hendaklah nafkahkan buahnya.”
(H.R.
Bukhari)
Berdasarkan dalil Al-Qur’ān dan hadis-hadis di atas, ditegaskan bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt., maka sepantasnya harus memilih hartanya yang paling baik untuk diwakafkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab ra.
Umat
Islam berbeda pendapat tentang awal diberlakukannya wakaf. Menurut kaum
Muhajirin, bahwa wakaf pertama kali diberlakukan pada zaman Umar ibn Khatab dan
dimulai Nabi Muhammad saw. sendiri.
Sementara
menurut kaum Anśar, wakaf pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., sebagaimana dalam kitab Magazi al-Waqidi dikatakan bahwa sedekah yang berupa
wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri
adalah sebidang tanah untuk dibangun masjid. Dengan demikian, dasar wakaf bukan
hanya berupa ucapan Nabi (qaulal-nabi), tetapi juga praktik Nabi Muhammad saw.
sendiri (fi’il al-nabi).
Menurut
al-Qurtubi, seluruh sahabat Nabi pernah mempraktikkan wakaf di Mekah dan
Madinah, seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Aisyah, Fatimah, Zubair, Amr bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam Syafi’i dalam
qaul qadimnya bahwa sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum Anśar
mempraktikkan sedekah muharramat yang disebut wakaf dan seluruh sahabat Nabi
melakukan wakaf serta tidak seorang pun yang
tidak mengetahuinya. Dengan demikian, wakaf memiliki dasar yang kuat
mulai dari al-Qur’ān yang bersifat global (mujmal), perkataan dan perbuatan Nabi
Muhammad saw., dan perilaku sahabat Nabi Muhammad saw.
3.
Rukun dan Syarat Wakaf
Adapun
rukun wakaf ada empat, seperti berikut.
a.
Orang yang berwakaf (al-wakif), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1)
Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu
kepada siapa yang ia kehendaki.
2)
Berakal, tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3)
Balig.
4)
Mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang
sedang bangkrut (muflis) dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
b.
Benda yang diwakafkan (al-mauquf), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1)
Barang yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
2)
Harta yang diwakafkan itu harus diketahui kadarnya. Jadi, apabila harta itu
tidak diketahui jumlahnya (majhul), pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
3)
Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf(wakif).
4) Harta itu harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah gaira śai’.
c.
Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi) atau sekelompok
orang/badan hukum yang disertai tugas mengurus dan memelihara barang
wakaf
(na©ir). Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,
yaitu seperti berikut.
1)
Tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang,
dua orang, atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh diubah.
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan)
bahwa ia adalah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik).
Maka, orang muslim, merdeka dan kafir zimni (non muslim yang bersahabat) yang
memenuhi syarat ini, boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
2)
Tidak tertentu (gaira mu’ayyan), yaitu tempat berwakaf itu tidak ditentukan
secara terperinci, umpamanya seseorang untuk orang fakir, miskin, tempat
ibadah, dan lain-lain. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan,
yaitu bahwa yang akan menerima wakaf itu hendaklah dapat menjadikan wakaf itu
untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan
hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
d.
Lafaz atau ikrar wakaf (Sigat), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1)
Ucapan itu harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak
sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
2)
Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu.
3)
Ucapan itu bersifat pasti.
4)
Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila
semua persyaratan di atas dapat terpenuhi, penguasaan atas tanah wakaf bagi nerima
wakaf adalah sah. Pewakaf (wakif) tidak dapat lagi menarik balik kepemilikan
harta itu karena telah berpindah kepada Allah Swt. dan penguasaan harta
tersebut berpindah kepada orang yang menerima wakaf (nazir). Secara umum,
penerima wakaf (nazir) dianggap pemiliknya tetapi bersifat tidak penuh (gaira
tammah)
B.
Harta Wakaf dan Pemanfaatannya
Berdasarkan
hadis Rasulullah saw. dan amal para sahabat, harta wakaf itu berupa benda yang
tidak habis karena dipakai dan tidak rusak karena dimanfaatkan, baik benda
bergerak ataupun benda tidak bergerak. Sebagai contoh misalnya Umar bin Khatab
ra. mewakafkan sebidang tanah di Khaibar. Khalid bin Walid ra. mewakafkan
pakaian perang dan kudanya.Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki
daya tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi
menurut syari’ah. Harta benda wakaf
terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
1.
Wakaf benda tidak bergerak
a.
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.
Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
c.
Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d.
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Wakaf benda bergerak
a.
Wakaf uang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama. Dana wakaf berupa uang dapat diinvestasikan pada asetaset finansial dan
pada aset ril.
b.
Logam mulia, yaitu logam dan batu mulia yang sifatnya memiliki manfaat jangka
panjang.
c.
Surat berharga.
d.
Kendaraan.
e.
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI mencakup hak cipta, hak paten,merek,
dan desain produk industri.
f.
Hak sewa seperti wakaf bangunan dalam bentuk rumah.
Dalam
rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan di indonesia keanggotaan Badan
Wakaf Indonesia (BWI) diangkat oleh Presiden Republik Indonesia sesuai dengan
Keputusan Presiden (Kepres) No.75/M Tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13
Juli 2007 sebagai amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
C.
Pengelolaan Wakaf dan Problematikanya
1.
Dasar Wakaf
Perwakafan
di Indonesia diatur menurut undang-undang dan peraturanperaturan sebagai
berikut.
a.
UU RI No.41 Tahun 2004 tentang wakaf tanggal 27 Oktober 2004.
b. Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1998 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c.
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
d.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran
Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
e. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f.
Intruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.
4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
g.
Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan
Penyertifikatan
Tanah Wakaf.
h. SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah (Pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, śhadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan).
i.
SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syari’ah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, śhadaqah,
wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak
dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al hasan).
Untuk
selanjutnya di tingkat masyarakat yang menangani langsung perwakafan diserahkan
kepada Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Di tingkat paling bawah,
urusan wakaf dilayani oleh Kantor Urusan Agama yang dalam hal ini Kepala KUA
sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
2.
Tata cara perwakafan tanah milik
a. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.
b. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus menyerahkan surat-surat (sertifikat, surat keterangan, dan lain-lain) kepada PPAIW.
c. PPAIW meneliti surat dan syarat-syaratnya dalam memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah.
d. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas, tegas, dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
e.
PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf dan mencatat dalam daftar akta ikrar
wakaf dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
3.
Sertifikasi Tanah Wakaf
Sertifikasi
wakaf diperlukan agar tertib secara administrasi dan memiliki kepastian hak
bila terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan
secara bersama oleh Kementerian Agama dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada
tahun 2004, kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Kepala BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses
sertifikasi tanah wakaf dibebankan
kepada
anggaran Kementerian Agama.
4.
Ruilslag Tanah Wakaf
Nazir
wajib mengelola harta benda wakaf sesuai peruntukan. Ia dapat mengembangkan
potensi wakaf asalkan tidak mengurangi tujuan dan peruntukan wakaf. Dalam
praktiknya, acapkali terjadi permintaan untuk menukar guling (ruilslag) tanah
wakaf karena alasan tertentu. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
memperbolehkan tukar guling atau penukaran.harta benda wakaf dengan syarat
harus ada persetujuan dari Menteri Agama.
Kewajiban
nazir yang terutama adalah mengamankan harta wakaf yang dikelolanya dan memanfaatkannya. Jika didapati harta wakaf tidak sesuai kemanfaatannya,
misalnya gedung madrasah yang penduduk sekitarnya telah pindah sehingga harta
wakaf tersebut tidak berfungsi lagi, nazir mengambil langkah untuk kemanfaatan
yang lain. Apakah harta wakaf itu boleh dijual dan diganti serta dipindahkan ke
tempat lain? Dengan alasan kemaslahatan dan kemanfaatan, diperbolehkan mengganti
bangunan gedung wakaf. Demikian juga menggantikan tanaman wakaf dengan tanaman
yang lebih produktif juga diperbolehkan, yang
hasilnya
lebih bermanfaat dari yang sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tujuan wakaf. Adapun memindahkan harta wakaf
diperbolehkan berdasarkan alasan maslahat dan manfaat. Contohnya jika jalan
yang berjembatan wakaf tidak lagi dipergunakan, jembatan itu boleh dipindahkan
ke tempat lain yang memerlukannya.
Mengenai
harta wakaf yang tidak mungkin diambil manfaatnya, juga boleh dijual, kemudian
membeli benda baru yang lain sebagai pengganti. Imam Syafi’i dan yang lainnya
tidak memperbolehkan mengganti masjid atau tanah wakaf. Namun Umar bin Khatab
pernah memindahkan masjid Kufah ke tempat yang baru dan tempat yang lama
dijadikan pasar kurma.
Oleh
karena itu, perubahan atau pengalihan dari yang dimaksud dalam ikrar wakaf
hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu saja, dan terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari pemerintah setempat dengan alasan:
a.
Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf yang diikrarkan oleh wakif.
b.
Karena kepentingan umum.
5.
Sengketa Wakaf
Penyelesaian
sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah. Apabila
mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan melalui
mediasi, arbitrase atau pengadilan.
6.
Syarat, Kewajiban, dan Hak Nazir
Nazir
bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat nazir
perseorangan adalah sebagai berikut.
a.
Warga negara Indonesia.
b.
Beragama Islam.
c.
Dewasa.
d.
Amanah.
e.
Mampu secara jasmani dan rohani.
f.
Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi
atau badan hukum yang bisa menjadi nazir harus memenuhi
persyaratan,
berikut.
a.
Pengurus organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
na©ir perseorangan sebagaimana tersebut di atas.
b.
Organisasi atau badan hukum itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
atau keagamaan Islam.
c.
Badan hukum itu dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Kewajiban
atau tugas nazir adalah sebagai berikut.
a.
Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
b.
Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
c.
Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d.
Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut, na©ir memiliki hak-hak sebagai berikut.
a.
Menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh prosen).
b.
Menggunakan fasilitas dengan persetujuan Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota.
D.
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wakaf
Secara
makro, wakaf diharapkan mampu memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Orang-orang yang perlu bantuan berupa makanan, perumahan, sarana umum seperti
masjid, rumah sakit, sekolah, pasar, dan lain-lain, bahkan modal untuk
kepentingan pribadi dapat diberikan, bukan dalam bentuk pinjaman, tapi murni
sedekah di jalan Allah Swt. Kondisi demikian akan memperingan beban ekonomi
masyarakat. Kalau ia bergerak secara teratur, tentu akan lahir ekonomi masyarakat
dengan biaya murah. Menurut Syafi’i Antonio, setidaknya ada tiga pilosofi dasar
yang harus ditekankan ketika hendak memberdayakan wakaf.
Pertama,
manajemennya harus dalam bingkai ‘proyek yang terintegrasi’.
Kedua,
azas kesejahteraan nazir.
Ketiga,
azas transparansi dan akuntabiliti dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya
harus melaporkan setiap tahun tentang proses pengelolaan dana kepada umat dalam
bentuk laporan audit keuangan termasuk kewajaran dari masing-masing pos biaya.
Adapun
prinsip-prinsip pengelolaan wakaf adalah sebagai berikut.
a.
Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif dengan
status wakaf sesuai dengan syariah.
b.
Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu.
c.
Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana yang diperkenankan
oleh syariah.
d.
Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan
dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif.
e.
Wakif dapat meminta keseluruhan keuntungannya untuk tujuan-tujuan yangtelah ia
tentukan
Komentar