BAB 4 Al-Qur’ān dan Hadis adalah Pedoman Hidupku
A. Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam
merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan
hukum Islam.
Adapun yang menjadi
sumber hukum Islam yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād.
Al-Qur’ānul Karim
1. Pengertian al-Qur’ān
Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan –
qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah,
al-Qur’ān adalah Kalamullah atau wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita
secara mutawattir,
ditulis dalam mus¥af,
dimulai dengan surah al-Fāti¥a¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya
berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai
hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
اِنَّ هٰذَا
الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ
Artinya: “Sungguh,
al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)
2. Kedudukan al-Qur’ān
sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum
Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber
utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman
kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى
الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ
وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’ān) dan
Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)
Dalam ayat yang lain
Allah Swt. menyatakan:
اِنَّآ
اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ
اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105)
Dalam sebuah hadis yang
bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim)
Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
3. Kandungan Hukum dalam
al-Qur’ān Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke
dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan
adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan
keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānul Imān),
yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan
qada/qadar Allah Swt.
b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur
tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq
(Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan ‘ibadah mahdhah, maupun yang
berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu ma¥«ah.
Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur
bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum
ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa dan lain
sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur
interaksi antara manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara
jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan
lain sebagainya
c. Akhlak atau Budi
Pekerti
Selain berisi hukum-hukum
tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak.
Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku,
baik akhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap
makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan
antara manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia – dan
hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan
manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.
Hadis atau Sunnah
1. Pengertian Hadis atau
Sunnah
Secara bahasa hadis
berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan,
perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis
juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan
sunnah.
Hadis adalah ucapan atau
perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti
perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling
terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai
berikut.
a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang
menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang.
b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan
Rasulullah saw. c. Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadis.
2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber
hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’ān. Artinya, jika sebuah
perkara hukumnya tidak terdapat di dalam alQur’ān, yang harus dijadikan
sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah
Swt:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ .............
Artinya : “...
dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang
dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Hasyr/59:7)
Demikian pula
firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ
فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ
حَفِيْظًا ۗ
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)
3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah
Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān
kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan)
serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.
Fungsi
hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang
memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum
sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat, baik
tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan
perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi,
“Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)
b. Memperkuat
pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
Seperti
dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian
melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah
hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah
karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan
maksud dan tujuan ayat
Misal,
dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ
كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ.
Artinya
: “ Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim
dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil,
dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka
berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang
pedih. Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak
mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d. Menetapkan
hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
Maksudnya
adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān,
diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki
yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam
sebuah hadis Rasulullah saw :
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah
saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama)
seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan
saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
4. Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari
segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Hadis
Mutawattir
Hadis
mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari
kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara
mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak
mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh
sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis
jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak
mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan
Tirmizi)
c. Hadis Ahad
Hadis a¥ad
adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga
tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang
meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
1) Hadis Śa¥i¥
adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam
penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan
tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini
dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2)
Hadis Hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi
kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak
bertentangan. Sama seperti hadis śa¥i¥, hadis ini dijadikan sebagai landasan
mengerjakan amal ibadah.
3)
Hadis Dha’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śa¥i¥ dan hadis
¥asan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
4)
Hadis Maudhu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau
hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas
tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
Ijtihād
sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis
1.
Pengertian Ijtihād Kata ijtihād berasal bahasa Arab
ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan,
bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara
istilah, ijtihād adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād
dinamakan mujtahid.
2.
Syarat-Syarat berijtihād
Karena
ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād
dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki
seseorang untuk melakukan ijtihād.
a. Memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam.
b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa
Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
c. Memahami
cara merumuskan hukum (istinba¯).
d. Memiliki
keluhuran akhlak mulia.
3. Kedudukan
Ijtihād
Ijtihād
memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan hadis.
Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān
dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari
Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda,
“Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?”
Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi
berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai
soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah
Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan
sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.”
(H.R. Darami)
Rasulullah
saw. juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan
ilmunya, kemudian ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika
kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut
ditegaskan melalui sebuah hadis:
Artinya:
“Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim
berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah,
maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
4.
Bentuk-bentuk Ijtihād
Ijtihād
sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
a. Ijma’
Ijma’
adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu
Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān
yang seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas
adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam
al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan
hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan
hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan
narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu
memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
c. Maśla¥ah Mursalah
Maśla¥ah mursalah artinya penetapan hukum yang
menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal
terhadap syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar
kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para
ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum
wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah
dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab,
syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.
1.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, seperti berikut
a.
Wajib (far«u), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi
bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan
berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada
kenikmatan (surga). Sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang
ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya perintah wajib śalat, puasa, zakat,
haji dan sebagainya.
b.
Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan
konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan
karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat
rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
c.
Haram (tahrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau
perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan
mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan dosa dan
hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat
langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak.
Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina,
larangan berjudi dan sebagainya.
d.
Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh
artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah
jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan
mendapatkan pahala. Misalnya adalah mengonsumsi makanan yang beraroma tidak
sedap karena zatnya atau sifatnya.
e. Mubah
(al-Ibahah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk
ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun
ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.
Semoga bermanfaat
Komentar