Hukum Islam [ Materi Pelajaran PAI. Bab 5/SMA/ Kls.10 /Semester. 1/ Kurtilas]
A. Sumber-Sumber Hukum Islam,
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
1. AL QUR’AN
Secara etimologis Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu .
Menurut para ulama klasik Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
1.1. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
1.2. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
1.3. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
1.4. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum
1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
b. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
1. Hukum munakahat (pernikahan).
2. Hukum faraid (waris).
3. Hukum jinayat (pidana).
4. Hukum hudud (hukuman).
5. Hukum jual-beli dan perjanjian.
6. Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
7. Hukum makanan dan penyembelihan.
8. Hukum aqdiyah (pengadilan).
9. Hukum jihad (peperangan).
10. Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. AS-SUNNAH ATAU HADISt.
menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:
2.1. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
2.2. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
2.3. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
2.4. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
3. IJTIHAD
berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Ijtihad berarti : mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist.
Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid.
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Macam-macam bentuk ijtihad dalam syariat Islam, yaitu:
3.1. Ijma’
Menurut bahasa : sepakat, setuju, atau sependapat.
Menurut istilah Ijma’ adalah : kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah.
Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Contoh : - Fatwa MUI tentang halalnya makan daging kelinci
- Fatwa MUI tentang haramnya merayakan natal bersama
- Fatwa MUI tentang penggunaan alat kontrasepsi KB
3.2. Qiyas Berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.
Qiyas : Suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contoh: adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.3. Istihsan adalah Suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan
Atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contoh: menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3.4. Mushalat Murshalah Menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contoh : dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
3.5. Sududz Dzariah Menurut bahasa berarti menutup jalan
Menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contoh: Larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
3.6. Istishab Berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contoh : seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
3.7. Urf. adalah Perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contoh: adalah dalam hal jual beli.
Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Para pakar hukum Islam berpendapat bahwa sumber-sumber hukum Islam ada empat, yaitu: Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijma', Qiyas.
Menurut Ulama Usul Fikih hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu: Hukum Taklifiy dan Hukum wadh’iy
1. Hukum Taklifiy
Pengertian Hukum Taklifi : Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
a. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat .
b. hukum Taklifi menurut Chaerul Uman dkk, adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir .
Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i yaitu ketetapan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan. Ketentuan hukum wad‘i secara lengkap sebagai berikut.
a. Sebab : Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum.
Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
b. Syarat: Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
c. Penghalang : Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang datang bulan menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
d. Sah: Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
e. Batal: Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 62–67)
2. Hukum wadh’iy,
Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi) .
hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib. hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia
Hukum Wad’iy adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum).
Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1. Sebab, :yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum.
Contoh: - tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur. Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
- terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib.
2. Syarat :yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada.
Contoh: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3. Mani (penghalang): yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.
Contoh: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis.
Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki).
Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadist), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
2. Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam Dari Masing-Masing Pembagiannya.
Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan istilah dalam menjelaskan spesifikasi hukum taklifi.
Seperti rachmat Syafe’i : "menggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi",
Chaerul Uman dkk : "menggunakan pembagian/ macam-macam hukum taklifi".
Sedangkan Satria Efendi : " menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum Taklifi" .
Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebut dengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenis sesuai dengan klasifikasi masing-masing.
Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:
Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.
Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah [2].Ayat: 282).
Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa sedangkan ditinggalkan mendapat pahala.
Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari Nadb.
Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat apa-apa -- disisi Allah
Selanjutnya, dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki pembagian lagi. Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci sebagai berikut:
A. Ijab [Al-ijab]
1. Al-ijab yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa masing-masing pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk juga Ijab. Para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib itu bias dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.
Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa Ramadhan, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
Wajib Muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu sempit), yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan bagi suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya, waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.
Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’ syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh melaksanakannya kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’ syafi’iyyah mengemukakan tentang persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha .
‘da’ A menurut Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertama kalinya pada waktu yang diitentukan syara’. I’adah adalah suautu amalan yang diekrjakan untuk kedua kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur. Qadha’, adalah suatu amalan yang dikerjakan dluar waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak bisa dikerjakan oleh wanita yang haid pada bulan ramadha itu, tetapi harus menggantinya pada waktu lainnya.
Chaerul Uman, dkk menjelaskan pembagian wajib dari segi waktunya menjadi dua, yaitu: wajib alal faur dan wajib alat tarakhi. Wajib ‘Alal Faur adalah apabila telah tercapai semua syarat, wajib segera dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib segera dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi. Sedangkan wajib ‘Alat Tarakhi adalah pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat ditunda selama syarat wajibnya tidak akan hilang dari diri orang yang diwajibkan untuk melakukan perbuatan itu. Seperti haji.
Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, dibagi menjadi dua, yaitu :
Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya, shalat fardhu lima waktu. Kaitannya dengan wajib ‘Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’ ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.
Pertama, yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain; Kedua, kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa. Kewajiban seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang lain.; dan Ketiga, kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah digantikan orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat Haji sah digantikan orang lain .
Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
Ditinjau dari segi kuantitasnya
Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
Ditinjau dari segi kandungan perintah
Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar zakat.
Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan member makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan budak.
B. Nadb /An-nadb (Sunnah) / mandub, macam-macamnya yaitu:
An-nadb yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang mengiringi shalat fardhu lima waktu.
Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari senin dan kamis.
Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. Seperti, cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian rasul .
C. Tahrim/At-Tahrim (haram),
At-tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
menurut para ulama’ Ushul Fiqh antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan meminum khamr.
Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/ transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
D. Karahah / Al-Karahah (Makruh),
Al-karahah yaitu : tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
macam-macamnya yaitu: Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam khitbahan orang lain .
E. Ibahah /Al-Ibahah (kebolehan)/ Mubah.
Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Pembagian mubah menurut Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga macam, yaitu:
Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal yang mubah, namun berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti, bermain atau mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan nyanyian.
Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya untuk kepentingan kesenangan (tersier).
Adapun pembagiannya hukum taklifi menurut ulama’ Hanafiyah sebagai berikut:
1. Iftiradh.
2. Ijab.
3. Ibahah.
4. Karahah Tanziyyah.
5. Karahah Tahrimiyyah.
6. Tahrim. menurut ulama fikihadalah perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf
Contoh : salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa.
Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1. Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu.
Contoh: salat sunnah rawatib.
2. Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang dari golongan masyarakat.
Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram: yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.
Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
C. Kewajiban Ibadah dan Hikmahnya
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
1. AL QUR’AN
Secara etimologis Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu .
Menurut para ulama klasik Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
1.1. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
1.2. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
1.3. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
1.4. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum
1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
b. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
1. Hukum munakahat (pernikahan).
2. Hukum faraid (waris).
3. Hukum jinayat (pidana).
4. Hukum hudud (hukuman).
5. Hukum jual-beli dan perjanjian.
6. Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
7. Hukum makanan dan penyembelihan.
8. Hukum aqdiyah (pengadilan).
9. Hukum jihad (peperangan).
10. Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. AS-SUNNAH ATAU HADISt.
menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:
2.1. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
2.2. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
2.3. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
2.4. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
3. IJTIHAD
berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Ijtihad berarti : mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist.
Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid.
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Macam-macam bentuk ijtihad dalam syariat Islam, yaitu:
3.1. Ijma’
Menurut bahasa : sepakat, setuju, atau sependapat.
Menurut istilah Ijma’ adalah : kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah.
Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Contoh : - Fatwa MUI tentang halalnya makan daging kelinci
- Fatwa MUI tentang haramnya merayakan natal bersama
- Fatwa MUI tentang penggunaan alat kontrasepsi KB
3.2. Qiyas Berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.
Qiyas : Suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contoh: adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.3. Istihsan adalah Suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan
Atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contoh: menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3.4. Mushalat Murshalah Menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contoh : dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
3.5. Sududz Dzariah Menurut bahasa berarti menutup jalan
Menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contoh: Larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
3.6. Istishab Berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contoh : seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
3.7. Urf. adalah Perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contoh: adalah dalam hal jual beli.
Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Para pakar hukum Islam berpendapat bahwa sumber-sumber hukum Islam ada empat, yaitu: Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijma', Qiyas.
Menurut Ulama Usul Fikih hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu: Hukum Taklifiy dan Hukum wadh’iy
1. Hukum Taklifiy
Pengertian Hukum Taklifi : Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
a. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat .
b. hukum Taklifi menurut Chaerul Uman dkk, adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir .
Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i yaitu ketetapan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan. Ketentuan hukum wad‘i secara lengkap sebagai berikut.
a. Sebab : Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum.
Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
b. Syarat: Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
c. Penghalang : Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang datang bulan menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
d. Sah: Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
e. Batal: Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 62–67)
2. Hukum wadh’iy,
Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi) .
hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib. hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia
Hukum Wad’iy adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum).
Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1. Sebab, :yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum.
Contoh: - tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur. Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
- terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib.
2. Syarat :yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada.
Contoh: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3. Mani (penghalang): yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.
Contoh: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis.
Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki).
Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadist), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
2. Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam Dari Masing-Masing Pembagiannya.
Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan istilah dalam menjelaskan spesifikasi hukum taklifi.
Seperti rachmat Syafe’i : "menggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi",
Chaerul Uman dkk : "menggunakan pembagian/ macam-macam hukum taklifi".
Sedangkan Satria Efendi : " menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum Taklifi" .
Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebut dengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenis sesuai dengan klasifikasi masing-masing.
Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:
Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.
Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah [2].Ayat: 282).
Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa sedangkan ditinggalkan mendapat pahala.
Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari Nadb.
Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat apa-apa -- disisi Allah
Selanjutnya, dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki pembagian lagi. Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci sebagai berikut:
A. Ijab [Al-ijab]
1. Al-ijab yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa masing-masing pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk juga Ijab. Para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib itu bias dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.
Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa Ramadhan, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
Wajib Muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu sempit), yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan bagi suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya, waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.
Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’ syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh melaksanakannya kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’ syafi’iyyah mengemukakan tentang persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha .
‘da’ A menurut Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertama kalinya pada waktu yang diitentukan syara’. I’adah adalah suautu amalan yang diekrjakan untuk kedua kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur. Qadha’, adalah suatu amalan yang dikerjakan dluar waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak bisa dikerjakan oleh wanita yang haid pada bulan ramadha itu, tetapi harus menggantinya pada waktu lainnya.
Chaerul Uman, dkk menjelaskan pembagian wajib dari segi waktunya menjadi dua, yaitu: wajib alal faur dan wajib alat tarakhi. Wajib ‘Alal Faur adalah apabila telah tercapai semua syarat, wajib segera dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib segera dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi. Sedangkan wajib ‘Alat Tarakhi adalah pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat ditunda selama syarat wajibnya tidak akan hilang dari diri orang yang diwajibkan untuk melakukan perbuatan itu. Seperti haji.
Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, dibagi menjadi dua, yaitu :
Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya, shalat fardhu lima waktu. Kaitannya dengan wajib ‘Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’ ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.
Pertama, yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain; Kedua, kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa. Kewajiban seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang lain.; dan Ketiga, kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah digantikan orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat Haji sah digantikan orang lain .
Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
Ditinjau dari segi kuantitasnya
Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
Ditinjau dari segi kandungan perintah
Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar zakat.
Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan member makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan budak.
B. Nadb /An-nadb (Sunnah) / mandub, macam-macamnya yaitu:
An-nadb yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang mengiringi shalat fardhu lima waktu.
Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari senin dan kamis.
Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. Seperti, cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian rasul .
C. Tahrim/At-Tahrim (haram),
At-tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
menurut para ulama’ Ushul Fiqh antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan meminum khamr.
Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/ transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
D. Karahah / Al-Karahah (Makruh),
Al-karahah yaitu : tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
macam-macamnya yaitu: Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam khitbahan orang lain .
E. Ibahah /Al-Ibahah (kebolehan)/ Mubah.
Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Pembagian mubah menurut Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga macam, yaitu:
Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal yang mubah, namun berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti, bermain atau mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan nyanyian.
Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya untuk kepentingan kesenangan (tersier).
Adapun pembagiannya hukum taklifi menurut ulama’ Hanafiyah sebagai berikut:
1. Iftiradh.
2. Ijab.
3. Ibahah.
4. Karahah Tanziyyah.
5. Karahah Tahrimiyyah.
6. Tahrim. menurut ulama fikihadalah perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf
Contoh : salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa.
Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1. Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu.
Contoh: salat sunnah rawatib.
2. Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang dari golongan masyarakat.
Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram: yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.
Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
C. Kewajiban Ibadah dan Hikmahnya
Komentar